Kesulitan belajar bahasa
arab
adalah pengalaman pertama kali jika seseorang ingin belajar bahasa arab. Dan
inilah yang dialami oleh Nur Alamsyah.
Akhir-akhir saya hampir
putus asa jika membaca buku-buku berbahasa Arab. Entah kenapa. Padahal
sebelum ini saya dengan semangat berhasil menuntaskan novel-novel Arab.
Terakhir saya mengkhatamkan novel Azazil (Yusef Ziedan), Qaryah
Dzalimah (Muhammad Kamil Husain), Zuqaq al-Midaq (Naguib Mahfouz).
Sementara novel karya Naguib Mahfouz lainnya, Awlad Haratina, saya baru
membacanya sampai pada tokoh Qasim, dan sampai saat ini belum saya lanjutkan.
Memang, membaca buku-buku Arab tidaklah mudah. Selain dituntut untuk paham, terkadang kosa kata juga menjadi kendala. Apalagi buku yang ditulis mengenai isu-isu terkini. Belum lagi buku-buku Arab yang isinya mengenai disiplin ilmu tertentu, seperti sastra, filsafat, ekonomi, politik, iptek, dll. Tentu tidak gampang memahaminya. Diperlukan perbendaraan kosa kata yang banyak, dan ini hanya bisa dilakukan dengan cara rajin-rajin membuka kamus bila tiap kali terkendala arti sebuah kata.
Belum lagi bahasa jurnalistik, kolom-kolom di surat kabar, yang memiliki gaya kepenulisan tersendiri. Apalagi jika sebuah buku atau tulisan yang ditulis oleh jurnalis, pemikir-pemikir ternama, sastrawan, maka akan banyak sekali kendala untuk memahaminya. Kendala ini antara lain terdapat dalam konteks pembahasan yang bukan bidang kita, dan tentu saja bahasa atau istilah-istilah kontemporer yang kurang akrab di telinga kita.
Karena sulitnya memahami tulisan bahasa Arab maka ada tahapan belajar untuk bisa memahaminya dengan baik. Beruntung bagi mereka yang dulu, saat di Indonesia, pernah belajar bahasa Arab. Terutama ilmu alat yaitu nahwu dan sharaf. Kedua ilmu ini merupakan modal dasar untuk membaca, memahami, dan cara menulis bahasa Arab yang benar. Selain itu, ngaji khas pesantren yang diampu kiyai-kiyai juga turut andil membantu bagaimana cara yang baik untuk memahami bahasa Arab.
Lalu tahap berikutnya adalah mengenal kitab-kitab kuning. Inilah praktik bagaimana seseorang mulai berinteraksi dengan bahasa Arab melalui tulisan setelah memahami ilmu alat tadi. Di sini selain harus menguasai ilmu alat juga harus mempunyai perbendaraan mufrodat yang kaya. Jika membaca sudah betul, terutama harakat-harakat huruf Arab yang ditulis gundul, maka selanjutnya yang ditekankan adalah pemahaman. Nah, pemahaman inilah periode penting dalam belajar bahasa Arab. Karena pemahaman ini baru hadir jika sudah benar-benar menguasai sejumlah mufradat dan struktur bacaan yang benar.
Kitab-kitab kuning tadi, atau biasa disebut kitab turats, biasanya ditulis dengan bahasa kuno yang mudah dipahami. Bahasa kuno ini mengacu pada bahasa Arab yang ditulis sekitar abad dua hijriah, tepatnya pada saat ilmu keislaman mulai semarak. Nah, kebetulan kitab-kitab yang diajarkan di pesantren rata-rata menggunakan bahasa kuno. Karena itu, ketika mengaji di hadapan para kiyai, lewat makna jawa dalam memahami kitab, setidaknya telah membantu bagaimana cara memahami tulisan-tulisan bahasa Arab.
Inilah salah satu cara yang membantu saya memahami buku-buku Arab. Dan ini ternyata membantu saya ketika pertama kali saya berinteraksi dengan diktat kuliah di Al Azhar. Untungnya lagi, diktat-diktat yang menjadi pegangan kami rata-rata turats. Ini artinya, bahasa yang digunakan tak terlalu sulit untuk dipahami. Kendalanya paling-paling pemahaman yang kadang dangkal yang disebabkan oleh belum terbiasanya membaca sendiri buku-buku Arab.
Untuk mengasah kemampuan membaca dan memahami tulisan Arab, maka saya harus sering-sering membaca. Karena membaca selalu memaksa saya untuk membuka kamus apabila menemukan kata-kata yang sulit sehingga menambah perbendaraan mufradat saya. Selain itu, dengan membaca saya bisa mengenali karakter dan metode si penulis. Terutama gaya bahasanya. Dengan begitu, saya akhirnya memiliki beragam pengalaman mengenai bagaimana cara yang baik dalam membaca dan memahami tulisan-tulisan Arab.
Meskipun demikian, saya akui daya pemahaman saya terhadap tulisan-tulisan Arab masih dangkal. Masih banyak mufradat yang tidak saya ketahui. Ini saya rasakan terutama ketika saya membaca karya-karya sastra Arab. Betapa sulitnya dan kalau sudah pusing, kadang malas untuk meneruskan membaca. Penulis seperti Abbas Mahmod Aqad, Naguib Mahfouz, Muhammad Husain Haikal, Taufik Al Hakim adalah sederet nama yang karyanya kadang susah dipahami dan harus disediakan kamus saat membaca karya-karya mereka. Belum lagi penulis-penulis terkenal yang tulisannya mempunyai ciri dan karakter tersendiri.
Makanya tidak mengherankan jika saya perlu waktu berbulan-bulan untuk mengkatamkan novel Awlad Haratina, karya Naguib Mahfouz. Padahal novel setebal 581 halaman itu andaikan diterjemahkan dengan bahasa Indonesia, mungkin saya membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk bisa membacanya sampai khatam. Karena itu, kadang saya merasa jengkel jika membaca buku Arab seperti novel ini karena saya perlu waktu lama karena terkendala kosa kata yang tak saya ketahui. Seolah-olah saya banyak membuang waktu hanya karena bolak-balik memahami tulisan dalam buku tersebut. Dan juga membuka kamus tentu saja.
Namun demikian banyak manfaat yang saya petik. Dari cara memahami tulisan Arab yang kadang menguras energi karena bolak-balik membuka kamus, saya diajari untuk lebih teliti. Saya pun, karena terbiasa membaca tulisan arab yang saya rasa berat, maka akan lebih mudah bagi saya jikalau membaca buku-buku berbahasa Indonesia.
Sampai saat ini, selama saya masih kuliah di Mesir, saya merasa gengsi membaca buku-buku bahasa Indonesia. Saya harus melahap buku-buku Arab. Saya masih perlu belajar: membaca dan memahami dengan baik semua tulisan bahasa Arab. Terutama buku-buku sastra Arab, karena hanya lewat bacaan sastra Arablah saya bisa memperkaya beragam kosa kata.
0 comments:
Posting Komentar