Oleh : Nur Rofiah
Bahasa Arab mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan Muslim di berbagai belahan dunia. Isma’il dan Lois Lamya al-Faruqi secara tepat menggambarkan fenomena ini sebagai berikut:
Dewasa ini bahasa Arab merupakan bahasa daerah sekitar 150 juta orang di Asia Barat dan Afrika Utara yang merupakan dua puluh dua negara yang menjadi anggota Liga Negara-Negara Arab. Di bawah pengaruh Islam, bahasa ini menentukan bahasa Persia, Turki, Urdu, Melayu, Hausa dan Sawahili. Bahasa Arab menyumbang 40-60 persen kosakata untuk bahasa-bahasa ini, dan kuat pengaruhnya pada tata bahasa, ilmu nahwu, dan kesustraannya. Bahasa Arab merupakan bahasa religius satu milyar Muslim di seluruh dunia, yang diucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bahasa ini juga merupakan bahasa hukum Islam, yang setidaknya dalam bidang status pribadi, mendominasi kehidupan semua Muslim. Akhirnya inilah bahasa kebudayaan Islam yang diajarkan di beribu-ribu sekolah di luar dunia Arab. Dari Sinegal sampai Filipina, bahasa Arab dipakai sebagai bahasa pengajaran dan kesusastraan dan pemikiran di bidang sejarah, etika, hukum dan fiqh, teologi, dan kajian kitab.[2]
Didukung dengan beberapa doktrin ajaran Islam, bahasa Arab terus mempengaruhi masyarakat Muslim di berbagai tempat. Misalnya doktrin bahwa al-Qur’an harus ditulis dan dibaca dalam bahasa aslinya (bahasa Arab). Terjemahan al-Qur’an dipandang sebagai sesuatu di luar al-Qur’an itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Injil di mana ia justru harus diterjemahkan ke berbagai bahasa tanpa menyertakan teks aslinya. Doktrin pendukung lainnya adalah berbagai ucapan ritual ibadah hanya dianggap sah jika dilakukan dalam bahasa Arab. Tak pelak doktrin-doktrin seperti ini telah memacu motivasi masyarakat Muslim untuk mempelajari dan menguasai bahasa Arab sejak dini agar kelak menjadi Muslim yang baik. Al-Qur’an bahkan tidak hanya dipelajari cara membacanya, tetapi juga dihafalkan kata perkata secara utuh.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan kegiatan berpikir sehingga sistem bahasa yang berbeda akan melahirkan pola pikir yang berbeda pula.[3] Oleh karena itu pengaruh bahasa Arab pada berbagai bahasa masyarakat non Arab berarti pula pengaruh dalam cara berpikir dan cara bersikap masyarakat Muslim di seluruh dunia. Hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat Muslim untuk memahami segala sesuatu yang Islami (sesuai dengan Islam) dengan Arabi (sesuai dengan Arab). Menjadi Muslim yang menyeluruh (kaffah) seringkali diekspresikan dengan menjadi orang Arab dengan berbagai artibutnya seperti bergamis, bersorba, berjenggot, berjubah, berjilbab, bernama Arab, bermusik padang pasir, dsb.
Sebagai konvensi, bahasa merupakan kesepakatan sebuah masyarakat. Ia diwariskan secara turun-menurun oleh generasi pemakainya. Demikian juga tradisi, pemikiran, keyakinan maupun ajaran agama yang disimbolkannya. Melalui ajaran Islam, bahasa Arab secara tidak langsung terus mempengaruhi masyarakat muslim dalam cara pandang, berpikir dan bersikap secara turun temurun. Transformasi ini dilakukan secara sistematis di madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam melalui buku-buku berbahasa Arab yang menjadi literatur utama.
Bahasa sebagai Simbol
Sebagaimana hakekat manusia yang terdiri dari dimensi lahir dan batin, bahasa pun demikian halnya. Manusia disebut mahluk lahir karena ia memang tampak, dapat dikenali dan diidentifikasi. Sebaliknya disebut makhluk batin, karena apa yang tampak dari manusia hanyalah pencerminan belaka dari hakekat dirinya yang tersembunyi (batin atau metafisik).[4] Seperti juga hakekat kedirian manusia ini, bahasa manusia pun pada dasarnya adalah simbol bagi dunia makna. Aliran mentalis mengatakan bahwa bahasa merupakan ekspresi dari ide, perasaan dan keinginan [5]
Ferdinand De Saussure lebih jauh mengembangkan unsur makna dan kata dalam bahasa melalui teori tentang konsep dan imajinasi suara (the concept and the sound image).[6] Kata pohon misalnya, terdiri dari imajinasi suara kata "pohon" (signifier) dan konsep tentang pohon (signified). Sistem simbolik bahasa disandarkan pada sistem kehidupan manusia. Karena itu kosa-kata sebuah bahasa di samping mencerminkan kemampuan sebuah masyarakat dalam mengekspresikan pengalaman hidupnya, juga secara umum mencerminkan pengetahuan, pandangan hidup, keyakinan maupun pemikiran mereka. Bahasa Inggris mencerminkan keseluruhan perkembangan politik, sosial dan sejarah budaya bangsa Inggris.[7] Demikian pula dengan bahasa Jawa. Pembagian kata menjadi tiga tingkatan menunjukkan adanya budaya patriakal yang sangat kental pada masyarakat penuturnya. Pembagian jenis kata pada rendah (ngoko), menengah (madyo) dan atas (inggil) mengacu pada adanya strata sosial masyarakat dalam budaya Jawa.
Sebagaimana bahasa lainnya, bahasa Arab tersusun dalam sistem simbolik. Kosa kata yang dipakai dalam bahasa adalah simbol bagi makna yang berada di baliknya.[8] Ibarat kata adalah sebuah badan, maka makna adalah ruhnya.[9] Karena itu sebuah kata hanya akan berfungsi sebagai simbol jika tidak dipisahkan dari konsep maknanya. Kosa kata apapun tidak akan berfungsi sebagai sebuah simbol bagi seseorang yang tidak mengetahui maknanya. Bahasa Arab yang dipakai al-Qur'an misalnya, tidak akan berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ilahi bagi siapa pun yang tidak mengerti bahasa Arab. Karena itu betapapun tingginya nilai sastra al-Qur'an, berhadapan dengan mereka, al-Qur'an tidak dapat menyampaikan satu pesan pun.
Sistem simbolik bahasa Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti pula bahwa bahasa Arab sangat berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab. Pamakaian bahasa Arab oleh al-Qur'an menunjukkan bahwa simbol bahasa al-Qur'an sangat terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan ini terlihat jelas pada pemakaian kosa-kata bahasa Arab yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat Arab. Lebih jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur'an dengan budaya Arab ditunjukkan dalam transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya masyarakat Arab.
Bias Gender dalam Bahasa Arab
Bahasa Arab yang telah menjadi bahasa umat Islam ini mengandung bias gender yang berpengaruh pada proses tekstualisasi firman Allah dalam bentuk al-Qur’an. Bias tersebut tercermin dalam tata bahasa Arab seperti setiap nama (isim) dalam bahasa Arab selalu berjenis kelamin (mudzakkar atau mu’annats), bisa secara hakiki maupun majazi. Sebagaimana seseorang tidak bisa mengabaikan kelas sosial ketika berbicara bahasa jawa, aturan di atas menyebabkan seseorang tidak bisa menghindari klasifikasi laki-laki dan perempuan dalam berbahasa Arab karena dalam bahasa ini tidak ada nama yang netral.
Sebagai pemakai bahasa Arab, teks al-Qur’an juga mengikuti ketentuan ini sehingga Allah sebagai Dzat yang tidak berjenis kelamin pun mempunyai nama yang berjenis kelamin, yaitu mudzakkar (laki-laki) sehingga memakai kata kerja laki-laki (fiil mudzakkar), sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut ini:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ(3)
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
Ketentuan lain dalam tata bahasa Arab yang mengandung bias gender adalah isim muannats (nama untuk perempuan) cukup dibentuk hanya dengan cara menambahkan satu huruf (ta’ marbuthoh) pada nama atau isim yang telah ada bagi laki-laki, seperti kata ustadzah (guru perempuan) yang dibentuk dari kata ustadz (guru laki-laki), muslimah dari muslim dll.. Tata bahasa ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab terhadap eksistensi perempuan sebagai bagian (sangat kecil?) dari eksistensi laki-laki.
Pengaruh cara pandang yang mengabaikan eksistensi perempuan ini dalam al-Qur’an dapat dilihat pada ayat tentang wudlu sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (al-Maidah/5:6)
Ayat tersebut sangat jelas sedang berbicara hanya pada laki-laki karena ayat tersebut secara jelas pula menyebutkan menyentuh perempuan (dengan segala konotasinya) sebagai hal yang menyebabkan batalnya “kesucian” laki-laki. Tidak ada satu ulama fiqh pun yang mengambil kesimpulan dari ayat di atas bahwasanya perempuan menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu. Jadi, eksistensi perempuan pada ayat di atas tidak ada dan ketentuan untuk perempuan pun cukup diturunkan dari ketentuan laki-laki.
Tata bahasa Arab lainnya yang mengandung bias gender adalah kata benda plural (jama’) untuk sekelompok perempuan adalah kata plural laki-laki (jama mudazkkar) meskipun di dalamnya hanya ditemukan satu orang laki-laki. Satu grup perempuan, baik berjumlah seribu, sejuta, semilyar, bahkan lebih, akan menggunakan kata ganti jama mudzakkar (laki-laki) hanya karena adanya satu orang laki-laki di antara lautan perempuan tersebut. Hal ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab bahwa satu kehadiran laki-laki lebih penting daripada keberadaan banyak perempuan, berarapa pun jumlahnya.[10]
Sebagai pemakai bahasa Arab, al-Qur'an juga mengikuti ketentuan ini sehingga dalam menyampaikan sebuah pesan yang ditujukan kepada umat secara umum, baik laki-laki atau perempuan, al-Qur'an menggunakan jenis kata laki-laki. Beberapa contoh ayat dapat disebutkan di sini:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. 2:183).
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:110)
Makulinitas ayat-ayat di atas terletak pada penggunaan kata-kata yang dicetak miring. Kata ganti orang kum (kalian), kata sambung alladhina (orang-orang yang), kata kerja aamanuu, tattaquun, aqiimuu, aatuu, tuqoddimuu, tajiduu (beriman, bertakwa, dirikanlah, tunaikanlah, usahakan, kerjakan). Kata-kata ini dalam bentuk perempuannya (muannatsnya) adalah kunna, allaatii, aamanna, tattaqna, aqimna, aatina, tuqoddimna, tajidna. Sekalipun menggunakan kata bentuk mudzakkar, ayat ini jelas ditujukan kepada seluruh kaum muslim termasuk yang perempuan. Jika tidak, maka ayat-ayat di atas tidak dapat dijadikan landasan bagi kewajiban shalat dan zakat bagi perempuan.
Meskipun perempuan telah terwakili dengan penyebutan laki-laki, tetapi pada beberapa kesempatan ayat al-Qur'an menggunakan gaya bahasa di mana eksistensi perempuan tidak lebur oleh kehadiran laki-laki. Misalnya ayat berikut ini:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang sedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (al-Ahzab, 33:35).
Bahasa Arab sesungguhnya bukan satu-satunya bahasa yang mengenal perbedaan gender. Bahasa Inggris mempunyai kata ganti she untuk perempuan dan he untuk laki-laki. Seperti juga dalam bahasa Arab, dominasi pria atas perempuan dalam masyarakat Inggris tercermin dalam istilah-istilah umum yang menggunakan kata laki-laki, contoh chairman dan spokesman. Ketika kesadaran persamaan hak antara laki-laki dan perempuan muncul di kalangan masyarakat pengguna bahasa Inggris, maka muncul pula kesadaran yang berbeda dalam berbahasa. Misalnya penggunaan kata he or she untuk menghindari penggunaan he secara berlebihan, dan perubahan istilah-istilah maskulin semacam chairman dan spokesman menjadi kata yang lebih netral seperti chairperson dan spokesperson. Kesadaran semacam ini tidak ditemukan dalam diskursus Arab.[11]
Tata-bahasa Arab yang mengandung bias gender ini merefleksikan budaya dan sikap masyarakat Arab terhadap perempuan. Pada masa turunnya al-Quir’an, kehadiran anak perempuan dapat mengancam kehormatan sebuah keluarga Arab sehingga penguburan bayi perempuan hidup-hidup juga ditempuh untuk menutupi malu.[12] Penguburan ini ditempuh karena masyarakat belum mengenal aborsi. Nilai perempuan tak lebih dari barang yang dapat dijual dan diwariskan.[13] Di samping itu, laki-laki dapat mengawini perempuan dalam jumlah tak terbatas pada saat yang sama, menceraikan mereka, merujuk lagi kapan saja dan berapa kalipun laki-laki menghendaki.[14] Tak jarang perempuan dipandang seperti syaitan yang harus dijauhi.[15]
Mewaspadai Bias Gender dalam Wacana Agama
Meskipun kebenaran dan kebaikan yang disampaikan oleh al-Qur'an bersifat universal dan abadi akan tetapi proses verbalisasinya berkaitan erat dengan kondisi masyarakat Arab pada masa turunnya. Dalam nada yang lebih berani Ibnu Khaldun mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan disesuaikan dengan gaya retorika mereka agar dapat dipahami.[16] Rekaman dialog antara ayat-ayat al-Qur’an dengan masyarakat Arab terutama yang berkaitan erat dengan persoalan personal mereka adalah indikasi kuat bagi adanya relevansi proses pembahasaan kebenaran mutlak Al-Qur’an dengan kondisi lokal bangsa Arab pada masa turunnya.
Namun demikian mayoritas Muslim memiliki kesadaran bahwa al-Qur’an (teks al-Qur’an) sama azali dan abadinya dengan Allah sehingga lahir kecenderungan untuk memahaminya secara tekstual. Keyakinan ini memunculkan problem serius karena teks-teks al-Qur’an adalah rekaman atas perubahan sosial yang berlangsung selama 23 tahun masa kerasulan Muhammad Saw. Oleh karena itu pendekatan tekstual akan mengesankan adanya ayat-ayat yng kontradiktif antara satu dengan lainnya. Problem ini oleh ulama diatasi antara lain melalui konsep naskh, yaitu menghapus atau menunda (hingga waktu tak tentu) beberapa ayat dengan memprioritaskan ayat lain untuk diberlakukan. Konsep ini mengisyaratkan bahwa teks al-Qur’an tidak bisa diterapkan secara serentak dan menyeluruh: sesuatu yang bertentangan dengan doktrin keabadian teks al-Qur’an.
Supremasi teks atas spirit atau ruhnya ini mengandung potensi besar bagi munculnya tafsir agama yang bias. Ayat tentang waris misalnya, pada saat turunnya mengandung spirit pemberdayaan perempuan secara ekonomi. Mereka yang tadinya diwariskan, lalu berubah menjadi mampu mewarisi atau memperoleh warisan dan akhirnya mampu pula mewariskan atau memberikan warisan. Dari transformasi ini dapat ditangkap bahwa bagian anak perempuan separo dari laki-laki mengandung tekanan pesan bahwa separo adalah jumlah minimal yang bisa diterima perempuan. Pada ayat yang sama bahkan disebutkan bahwa bagian perempuan (ibu) adalah sama dengan laki-laki (ayah):
….Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak….(an-Nisa/4:11)
Pendekatan tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an mesti diwaspadai karena mempunyai kecenderungan mengabaikan spirit pemberdayaan pada seluruh ayat-ayat yang berkaitan dengan gender. Muhammad Abduh mensinyalir sebagian besar kata-kata al-Qur’an telah berubah kandungan maknanya bahkan pada masa dekat setelah turunnya.[17] Perubahan makna ini dapat terjadi dalam bentuk pemahaman terhadap al-Qur’an yang bertentangan dengan spirit awalnya.
Jika al-Qur’an yang diyakini tidak bermasalah dalam otentisitasnya saja sudah mengandung potensi lahirnya wacana agama yang bias gender, maka dapat diperkirakan seberapa besar potensi teks-teks religius lainnya seperti hadis, tafsir, fiqih , dll. dalam melahirkan wacana agama yang bias. Berbeda dengan teks al-Qur’an, hadis dapat bermasalah dari segi periwayatan maupun redaksinya (sanad dan matan). Oleh karena itu viliditas hadis bertingkat; shahih, hasan, dloif dan maudlu’ (palsu). Tingkatan hadis yang paling tinggi adalah hadis yang secara sanad maupun matannya tidak mengandung cacat.
Hadis yang mengandung bias gender sangat mudah ditemukan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini:
Di antara haknya adalah andaikata di antara dua hidung suami mengalir darah dan nanah lalu istrinya menjilati dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Seandainya manusia itu boleh bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. (HR. al-Hakim).[18]
Hadis ini dikutip Imam Nawawi dalam kitab Uqud ad-Dulujain. Hingga kini, kitab tersebut masih dianggap sebagai rujukan utama di beberapa pesantren di Indonesia. Hasil penelitian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menunjukkan bahwa kualtitas sanad hadis tersebut dloif (lemah) karena terdapat perawi yang bermasalah, yaitu Sulayman bin Dawud dan al-Qasim. Imam Nawawi juga mengutip tiga hadis di bawah ini:
Jika seorang istri menghabiskan malam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi. (HR. Bukhari Muslim).
Andaikata seorang wanita menghabiskan waktu malamnya untuk shalat, siang harinya untuk puasa, lalu suaminya memanggilnya ke tempat tidur sedangkan istri menundanya sesaat, maka kelak pada hari kiamat ia akan diseret dengan rantai dan belenggu, berkumpul dengan setan-setan hingga sampai di tempat yang serendah-rendahnya.
Bahwasanya wanita itu tidak dapat memenuhi hak Allah sebelum memenuhi hak-hak suaminya. Seumpama suami minta pada istrinya sementara istri sedang berada di atas punggung onta, maka ia tidak boleh menolak dirinya. (HR. Ath-Thabarani)[19]
Hadis-hadis di atas dan semacamnya pada umumnya bermasalah dalam sanad dan seluruhnya bermasalah dari segi matan. Khalid M. Abu el Fadl menyebutkan tiga hal sebagai sebab tidak validnya hadis-hadis tersebut menurut matan, yaitu bertentangan dengan kedaulatan Tuhan dan Kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak, tidak selaras dengan diskursus al-Qur’an tentang kehidupan pernikahan, dan tidak sejalan dengan keseluruhan riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap istri-istrinya.[20]
Beberapa faktor pendukung lain dalam lahirnya wacana agama yang bias adalah fakta bahwa perumusan ajaran agama sejak awal didominasi oleh bangsa Arab, sebuah bangsa yang memiliki pra asumsi bias dalam memandang perempuan. Hingga kini wacana Agama masih berkiblat ke negeri Arab, sehingga tidak hanya relasi yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan yang mereka tanamkan dalam kesadaran masyarakat Muslim di seluruh dunia, tetapi juga relasi tidak seimbang antara Muslim dan non Muslim berdasarkan pengalaman pahit yang merteka alami hingga kini di tanah Arab.
Beberapa Upaya
Beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk menghindari bias gender dalam wacana agama adalah sebagai berikut:
1. mewaspadai pengaruh budaya dan bahasa Arab dalam wacana agama.
2. membuat wacana agama yang mendukung keadilan gender lebih popular daripada wacana agama yang mengandung bias.
3. Berperan aktif dan kritis dalam memproduksi wacana agama menurut perspektif perempuan.
4. Menyuguhkan konteks teks dan konteks pembaca dalam memproduksi wacana agama.
5. Menjadikan spirit keadilan sebagai payung dalam memproduksi dan memahami wacana agama.
Sebagaimana bahasa pada umumnya, bahasa Arab harus dipandang sebagai alat komunikasi. Alat ini sangat penting artinya dalam menyampaikan pesan. Namun demikian, pentingnya alat tidak kan pernah melampaui pentingnya tujuan dalam sebuah komunikasi, yaitu sampaiknya pesan. Sebagai simbol, bahasa Arab mempunyai peranan penting dalam menyampaikan pesan ilahi melalui al-Qur’an. Namun demikian, pentingnya simbol tidak akan pernah melampaui pentingnya hal yang disimbolkan. Oleh karena itu, bahasa Arab penting untuk dipelajari dalam memahami ajaran agama, namun bahasa Arab tetap harus diwaspadai karakternya yang sangat bias agar ajaran agama tidak justru digunakan sebagai alat diskriminasi terhadap perempuan atas nama agama.
DAFTAR LITERATUR
Albert C. Baugh dan Thomas Cable, A History of The English Language, Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc., 1978.
Al-Quzwaini, Al-Idloh fi Ulum il-Balaghah, Beirut: Dar al-Jail, 1993.
At-Tabari, Jamiul Bayan, Kairo: 1957-1969Ibnu Haldun, Muqaddimah, Beyrut: Darul Fikir, tt
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Yogyakarta: LKiS, 2001
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, penerjemah Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 2003.
Khaled M. Abou el Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Penerjemah R. Cecep Lukman Hakim, Jakarta: Serambi, 2004.
Leonard Bloomfield, Language, London: George Allen and Unwin Ltd., 1970.
Masdar Farid Mas'udi, Agama Keadilan, Jakarta: P3M, 1993.
Muhammad Abduh, Al-Manar, Kairo: Darul Manar, 1367, Jilid. I
Muhammad bin Iyas, Badaiz Zuhur fi Waqaid Duhur, Beirut: Maktabah Saqafiyyah, tt.
Nasr Hamid Abu Zaid, Women in the Discourse of Crisis, The Legal Research and Resource center for Human Right pages. (LRRC). Cairo, Egypt.
Roger Trigg, Understanding Social Science, Oxford: Basic Blackwell, 1985.
[1] Makalah disampaikan dalam Annual Conference Kajian Islam di Grand Hotel Lembang, Minggu-Kamis, 26-30 November 2006.
[2] Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, penerjemah Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 2003), h. 59.
[3] Roger Trigg, Understanding Social Science (Oxford: Basic Blackwell, 1985), h. 188.
[4] Masdar Farid Mas'udi, Agama Keadilan (Jakarta: P3M, 1993), h. 13-14.
[5] Leonard Bloomfield, Language (London: George Allen and Unwin Ltd., 1970), h. 142.
[6] Istilah imajinasi suara menyiratkan bahwa suara yang menjadi dasar sebuah bahasa bukanlah suara fisik yang dapat didengar itu melainkan pada kesan yang ditimbulkannya atau imajinasi yang muncul melalui suara. Ketika manusia berbicara dengan dirinya sendiri misalnya, ia tetap mendapatkan kesan itu sekalipun tanpa suara.
[7]Albert C. Baugh dan Thomas Cable, A History of The English Language (Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc., 1978), h. 2.
[8]Al-Quzwaini, Al-Idloh fi Ulum il-Balaghah (Beirut: Dar al-Jail, 1993), h. 149.
[9]Al-Quzwaini, Al-Idhoh, h..152.
[10]Nasr Hamid Abu Zaid, Women in the Discourse of Crisis, The Legal Research and Resource center for Human Right pages. (LRRC). Cairo, Egypt.
[11] Nasr Hamid, Women in the Discourse of Crysis.
[12] Realitas ini terekam dalam ayat al-Qur’an sebagai berikut:
Tatkala diberitakan kepada seseorang di antara mereka perihal kelahiran anak perempuan, wahjahnya cemberut menahan sedih. Ia bersembunyi dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang diterimanya, boleh jadi ia akan memeliharanya dengan penuh hina atau menguburkannya (hidup-hidup) ke dalam tanah. Alangkah buruknya keputusan mereka (an-Nahl,/16:58-59).
[13] At-Thabari, Jami’ al-Bayan (Kairo: 1057-19690, jilid VII, h. 599
[14] At-Tabari, Jami’ al-Bayan, h. 534-535
[15] Perempuan adalah setan yang diciptakan untuk laki-laki, kami berlindung kepada Allah dari seburuk-buruk setan yang menggoda. Lih. Muhammad bin Iyas, Badaiz Zuhur fi Waqaid Duhur, Beirut: Maktabah Saqafiyyah, tt., h. 52.
[16]Ibnu Haldun, Muqaddimah (Beyrut: Darul Fikir, tt.), h. 438.
[17]Muhammad Abduh, Al-Manar (Kairo: Darul Manar, 1367), jilid. I, h. 21.
[18]Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Istri (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 94.
[19]Berdasarkan penelitian Husein Muhammad, kitab yang menjadikan ketaatan istri pada suami sebagai tema sentral ini mengandung kurang lebih 100 buah hadis. 20 hadis di antaranya mempunyai status la ashla lahu (tidak jelas sembernya). Di samping itu, Khalid bin Muhammad az-Zuwaidi juga menemukan adanya 31 hadis maudlu (palsu) dalam kitab yang sama. Lihat Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 180-183. Hadis kedua di atas adalah maudlu berdasarkan penelitian FK3, Wajah Baru, h. 65.
[20]Khaled M. Abou el Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Penerjemah R. Cecep Lukman Hakim (Jakarta: Serambi, 2004), h. 311.
0 comments:
Posting Komentar